MENGENAL
BUDAYA ROTE
Kabupaten Rote Ndao adalah salah
satu pulau paling selatan dalam jajaran kepulauan Nusantara Indonesia.
Pulau-pulau kecil yang mengelilingi pulau Rote antara lain Pulau Ndao,Ndana,
Naso, Usu, Manuk, Doo, Helina, Landu.
Konon
menurut lagenda seorang Portugis diabad ke 15 mendaratkan perahunya , dan
bertanya kepada seorang nelayan setempat apa nama pulau ini, sang nelayan
menyebut namanya sendiri, Rote. Sang pelaut Portugis mengira nama pulau itu
yang dimaksudkan.
Sebagian besar penduduk yang mendiami pulau/kabupaten
Rote Ndao menurut tradisi tertua adalah suku-suku kecil Rote Nes, Bara Nes, Keo
Nes, Pilo Nes, dan Fole Nes. Suku-suku tersebut mendiami wilayah kestuan adat
yang disebut Nusak.
Masyarakat
Rote Ndao mengenal suatu lagenda yang menuturkan bahwa awal mula orang Rote
datang dari Utara, dari atas, lain do ata, yang konon kini Ceylon. Kedatangan
mereka menggunakan perahu lete-lete.
Strata
sosial terdapat pada setiap leo. Lapisan paling atas yaitu mane leo (leo mane).
Yang menjadi pemimpin suatu klein didampingi leo fetor (wakil raja) yang
merupakan jabatan kehormatan untuk keluarga istri mane leo. Fungsi mane leo
untuk urusan yang sifatnya spiritual, sedangkan fetor untuk urusan duniawi.
Filosofi
kehidupan orang Rote yakni mao tua do lefe bafi yang artinya kehidupan dapat
bersumber cukup dari mengiris tuak dan memelihara babi. Dan memang secara
tradisonal orang-orang Rote memulai perkampungan melalui pengelompokan keluarga
dari pekerjaan mengiris tuak. Dengan demikian pada mulanya ketika ada
sekelompok tanaman lontar yang berada pada suatu kawasan tertentu, maka tempat
itu jugalah menjadi pusat pemukiman pertama orang-orang Rote.
Secara
tradisional pekerjaan menyadap nira lontar tugas kaum dewasa samapi tua. Tetapi
perkerjaan itu hanya sampai diatas pohon, setelah nira sampai ke bawah seluruh
pekerjaan dibebankan kepada wanita. Kaum pria bangun pagi hari kira-kira jam
03.30, suatu suasana yang dalam bahasa Rote diungkap sebagai; Fua Fanu Tapa
Deik Malelo afe take tuk (bangun hampir siang dan berdiri tegak,sadar dan cepat
duduk).
PAKAIAN ADAT
Menelusuri
perkembangan Teknologi Tenun lkat di Pulau Rote, diperkirakan sejak masa
sejarah orang Rote sudah mengenal Tekhnologi menenun. sebelum mengenal kapas,
mereka membuat Kain Tenun dari bahan serat gewang. Tenunan yang
dihasilkan berupa sarung yang disebut lambi tei dan selimutyang disebut Lafe
tei, dipakai sebagai pakaian harian maupun pakaian pesta. Tahun 1994 Tim Survei
dan pengadaan Koleksi Museum mengunjungi Pulau Rote,
Pada saat
itu masih dijumpai seorang Nenek di Kampung Boni- Kec. Rote Barat Daya yang
masih menggunakan kain dari bahan serat gewang. Begitu dalamnya kecintaan sang
nenek terhadap kain tenun dari serat gewang,
Hingga akhirnya
nenek tersebut pun enggan bahkan tidak mau menggunakan kain tenun dari benang
kapas.
Masuknya
Bangsa-bangsa luar ke Pulau rote, membawa perubahan pada berbagai aspek budaya
termasuk teknologi Tenun. Penggunaan serat-serat tumbuhan mulai terganti dengan
serat kapas yang diperkenalkan oleh para lmigran, seperti : serat kapas, dll.
serat kapas merupakan serat terpopuler di dunia' kain yang terbuat dari serat
ini disebut kain katun. serat kapas berasal dari tanaman Gossypium, sejenis
belukar dengan tinggi antara 120-180 cm' Pada awalnya tanaman ini ditemukan di
lndia sekitar tahun 5000 SM kemudian menyebar ke Barat dan Timur hingga ke
wilayah Nusantara' sampai abad 19 wilayah Nusantara berswasembada lahan katun.
Dengan diterapkannya politik Tanam paksa oleh Kolonial Belanda, maka
pembudidayaan kapas mulai merosot dan sejak itu benang katun Amerika dan lndia
menguasai pasar Nusantara'
RUMAH ADAT ROTE
Mengunjungi suatu tempat kurang
lengkap rasanya jika tidak memotret bangunan menarik yang merupakan icon daerah
tersebut. Bangunan bisa berupa rumah adat, bangunan bersejarah hingga tempat
ibadah. Dari sebuah bangunan bisa digali cerita menarik mengenai kehidupan
penghuninya maupun sejarah bangunan tersebut.
MAKANAN KHAS
Kabupaten Rote Ndao adalah kabupaten
hasil pemekaran dari kabupaen Kupang dengan jumlah kecamatannya sebanyak 8.
Wilayah kabupaten ini terdiri dari pulau Rote serta dikitari pulau-pulau kecil
sebanyak 103 buah pulau,6 buah pulau berpenghuni yakni:
Rote,Ndao,Nuse,Landu,Nusa Manuk,dan Usu. Menurut legenda, pulau ini mendapat
nama secara kebetulan dari seorang pelaut Portugis, yang ketika tiba dan
menanyakan nama pulau itu,penduduk yang ngga ngerti hanya berucap “Rote”. Nah,
pada masa kedudukan Belanda lebih sering disebut “Roti”
Jika anda pencinta pantai, aku bisa
bilang bahwa Rote-lah surga pantai yang sesungguhnya bagi anda. Pulau ini
dikelilingi oleh pantai berpasir putih bersih yang lebar-lebar. Pokoknya luar
biasa. Bahkan saya yang sudah lama di Bali, belum menemukan pantai yang lebih
bagus dari pantai di Rote. Bali hanya unggul di pengelolaan saja. Kalau dari
alam,sebenarnya ngga seberapa. Tapi saya suka di Bali karena transport dan
akomodasinya lebih lancar,lebih mudah, lebih murah.
Agama asli orang Rote disebut dengan
Halaik. Dalam konsep kehidupan akan alam gaib, orang-orang Rote juga percaya
akan adanya dewa. Misalnya dewa Dewa Nutu Bek (dewa untuk pertanian), dan dewa
Nade Dio (dewa pemberi kemakmuran). Mengenai konsep wujud tertinggi tersebut
dikenal dengan apa yang disebut dengan Mane Tua Lain atau Lama Tuak sebagai
suatu wujud tertinggi.
BAHASA
Bahasa suku bangsa Rote pada
hakekatnya satu (disebut bahasa Rote), namun bervariasi dialek menurut nusak
masing-masing yang saling dapat dimengerti. Ciri yang menonjol dari bahasa Rote
adalah bahasa sastra atau bahasa ritual. Bahasa sastra adalah satu bahasa
khusus dan dapat segera dikenal sebagai bentuk bahasa yang digunakan dalam
setiap kesempatan seperti : upacara adat, perundingan, salaman, nyanyian,
tarian, dsb. Pada hakekatnya bahasa sastra merupakan pantun yang terdiri atas
pasangan kata-kata berirama yang artinya bersamaan, misalnya: tolanok dudinok,
dak esa fafan ma titiesa nonosinI (saudara sekerabat dan seturunan). Untuk
memperoleh kata-kata seirama dengan makna dan tujuan yang sama, biasanya
diambil kata-kata majemuk, sehingga bahasa sastra itu merupakan satu kesatuan
pengertian yang mendalam.
Belanda memperkenalkan bahasa Melayu kepada orang Rote
sebagai sarana bahasa pendidikan. Bahasa Melayu ini mudah diterima dan dipergunakan
secara luar karena hampir sama dengan bahasa sastra orang Rote. Pada
perkembangan lebih lanjut, bahasa Melayu berkembang menjadi bahasa Indonesia
yang sampai sekarang menjadi bahasa lintas suku dan pemersatu bangsa, termasuk
orang Rote.
SISTEM KEKERABATAN
Di Pulau Rote, Ume
Ofa' atau "Perahu-Rumah" telah punah. Penyebabnya ialah
politik Orde Baru di akhir 1960-an. Kala itu, masyarakat diimbau
menghilangkan tradisi membangun rumah tradisional dengan upacara-upacara adat
dan pesta meriah, yang dinilai boros. Tolok ukur siapa yang dipakai?
Sebagai pelajaran bagi generasi mendatang, apakah masih ada ume yang
bisa diselamatkan?
Tempat ternak di bawah panggung (vilenggat),
juga dinilai ”tidak higeinis”. Faktor agama pun turut mempengaruhi perubahan, sebab
pembangunan rumah tradisional selalu dimulai dan diakhiri dengan upacara (songgo) untuk
meminta petunjuk dari ruh leluhur, yang dianggap bertentangan dengan ajaran
Kristen. Ume Ofa’ Balu’ atau “Rumah-Perahu Besar”, perwujudan
budaya Rote, kini terkubur sudah. Gantinya adalah ume leleo rae dan ume
leleo’ .
Tempat ternak di bawah panggung (vilenggat),
juga dinilai ”tidak higeinis”. Faktor agama pun turut mempengaruhi perubahan,
sebab pembangunan rumah tradisional selalu dimulai dan diakhiri dengan upacara (songgo) untuk
meminta petunjuk dari ruh leluhur, yang dianggap bertentangan dengan ajaran
Kristen. Ume Ofa’ Balu’ atau “Rumah-Perahu Besar”, perwujudan
budaya Rote, kini terkubur sudah. Gantinya adalah ume leleo rae dan ume
leleo’ .
Pulau Rote, Pulau Ndao serta
pulau-pulau disekitarnya terbagi dalam 19 nusa’ (suku).
Di dalam lingkungan nusa’ terdapat kelompok-kelompok kecil
kumpulan beberapa keluarga yang memiliki hubungan kekerabatan (leo). Dari
kesembilan belas nusa’, terdapat delapan belas dialek. Di masa lalu
terkadang terjadi benturan fisik; pemicunya adalah penguasaan atas sumber air.
Untuk mempertahankannya, di Nusa’ Delha, dibangun benteng
pertahanan dari batu gunung setinggi antara tiga sampai empat meter
dengan ketebalan dinding sekitar satu setengah meter. Benteng pertahanan ini
disebut sebagai kota’.
Tidak diketahui secara pasti, kapan sejarah permukiman
berawal di Nusa’ Delha. Menurut tradisi tutur setempat,
permukiman itu bermula di daerah Inggu Ata, Nemberala. Penduduk
pertamanya berasal dari hubungan kekerabatan atau Leo Ombak.
Bukti bahwa mereka adalah bagian dari migran melewati jalur laut, adalah konsep
yang sama antara rumah (ume) tradisional dan perahu (ofa’). Bagi
mereka ofa’ merupakan hunian di laut dan ume merupakan
perahu di darat. Begitulah istilah Delha untuk rumah tradisional yang
besar, yakni; ume ofa’ balu’ (rumah besar seperti perahu
besar). Sekarang rumah yang demikian boleh dikatakan sudah tinggal kenangan.
Sebaliknya perubahan-perubahan semakin cepat tercatat.
Anoraga, P.,
2004, Manajemen Bisnis, Jakarta: Rineka Cipta.
Gibson, J.L,
Ivan Cevich and Donelly, 1995. Organisasi dan Manajemen: Perilaku, Struktur,
dan Proses. Terjemahan. Jakarta: Erlangga.
Gibson, J.L,
Ivan Cevich and Donelly. 1997. Organization. Binapura Aksara : Jakarta.
Handoko, H.,
2000, Manajemen Personalia dan Sumher Daya Manusia. Yogyakarta:
BPFE-Yogyakarta.
Handoko, H.,
2001,. Manajemen Sumher Daya Manusia Dan Personalia. Yogyakarta: BPFE UGM.
Mangkunegara,
A.P., 2001, Manajemen Sumber
Daya Manusia Perusahaan, Remaja Rosdakarya, Bandung.
Mangkunegara,
A. P., 2000. Manajemen Sumber Daya Manusia
Perusahaan. Bandung: PT Remaja Rosadakarya.
Nawawi,
H., 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia Untuk Bisnis Yang Kompetitif.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.