Kamis, 01 September 2016

SEBUAH FILOSOFIS KEHIDUPAN TENTANG SUKU ROTE DI PULAU TIMOR

MENGENAL BUDAYA ROTE


Kabupaten Rote Ndao adalah salah satu pulau paling selatan dalam jajaran kepulauan Nusantara Indonesia. Pulau-pulau kecil yang mengelilingi pulau Rote antara lain Pulau Ndao,Ndana, Naso, Usu, Manuk, Doo, Helina, Landu.
            Konon menurut lagenda seorang Portugis diabad ke 15 mendaratkan perahunya , dan bertanya kepada seorang nelayan setempat apa nama pulau ini, sang nelayan menyebut namanya sendiri, Rote. Sang pelaut Portugis mengira nama pulau itu yang dimaksudkan.
Sebagian besar penduduk yang mendiami pulau/kabupaten Rote Ndao menurut tradisi tertua adalah suku-suku kecil Rote Nes, Bara Nes, Keo Nes, Pilo Nes, dan Fole Nes. Suku-suku tersebut mendiami wilayah kestuan adat yang disebut Nusak.
Semua Nusak yang ada dipulau Rote Ndao tersebut kemudian disatukan dalam wilayah kecamatan.
            Masyarakat Rote Ndao mengenal suatu lagenda yang menuturkan bahwa awal mula orang Rote datang dari Utara, dari atas, lain do ata, yang konon kini Ceylon. Kedatangan mereka menggunakan perahu lete-lete.
            Strata sosial terdapat pada setiap leo. Lapisan paling atas yaitu mane leo (leo mane). Yang menjadi pemimpin suatu klein didampingi leo fetor (wakil raja) yang merupakan jabatan kehormatan untuk keluarga istri mane leo. Fungsi mane leo untuk urusan yang sifatnya spiritual, sedangkan fetor untuk urusan duniawi.
            Filosofi kehidupan orang Rote yakni mao tua do lefe bafi yang artinya kehidupan dapat bersumber cukup dari mengiris tuak dan memelihara babi. Dan memang secara tradisonal orang-orang Rote memulai perkampungan melalui pengelompokan keluarga dari pekerjaan mengiris tuak. Dengan demikian pada mulanya ketika ada sekelompok tanaman lontar yang berada pada suatu kawasan tertentu, maka tempat itu jugalah menjadi pusat pemukiman pertama orang-orang Rote.
            Secara tradisional pekerjaan menyadap nira lontar tugas kaum dewasa samapi tua. Tetapi perkerjaan itu hanya sampai diatas pohon, setelah nira sampai ke bawah seluruh pekerjaan dibebankan kepada wanita. Kaum pria bangun pagi hari kira-kira jam 03.30, suatu suasana yang dalam bahasa Rote diungkap sebagai; Fua Fanu Tapa Deik Malelo afe take tuk (bangun hampir siang dan berdiri tegak,sadar dan cepat duduk).

PAKAIAN ADAT
Menelusuri perkembangan Teknologi Tenun lkat di Pulau Rote, diperkirakan sejak masa sejarah orang Rote sudah mengenal Tekhnologi menenun. sebelum mengenal kapas, mereka   membuat Kain Tenun dari bahan serat gewang. Tenunan yang dihasilkan berupa sarung yang disebut lambi tei dan selimutyang disebut Lafe tei, dipakai sebagai pakaian harian maupun pakaian pesta. Tahun 1994 Tim Survei dan pengadaan Koleksi Museum mengunjungi Pulau Rote,
Pada saat itu masih dijumpai seorang Nenek di Kampung Boni- Kec. Rote Barat Daya yang masih menggunakan kain dari bahan serat gewang. Begitu dalamnya kecintaan sang nenek  terhadap kain tenun dari serat gewang,
Hingga   akhirnya nenek tersebut pun enggan bahkan tidak mau menggunakan kain tenun dari benang kapas.
Masuknya Bangsa-bangsa luar ke Pulau rote, membawa perubahan pada berbagai aspek budaya termasuk teknologi Tenun. Penggunaan serat-serat tumbuhan mulai terganti dengan serat kapas yang diperkenalkan oleh para lmigran, seperti : serat kapas, dll. serat kapas merupakan serat terpopuler di dunia' kain yang terbuat dari serat ini disebut kain katun. serat kapas berasal dari tanaman Gossypium, sejenis belukar dengan tinggi antara 120-180 cm' Pada awalnya tanaman ini ditemukan di lndia sekitar tahun 5000 SM kemudian menyebar ke Barat dan Timur hingga ke wilayah Nusantara' sampai abad 19 wilayah Nusantara berswasembada lahan katun. Dengan diterapkannya politik Tanam paksa oleh Kolonial Belanda, maka pembudidayaan kapas mulai merosot dan sejak itu benang katun Amerika dan lndia menguasai pasar Nusantara'

RUMAH ADAT ROTE
Mengunjungi suatu tempat kurang lengkap rasanya jika tidak memotret bangunan menarik yang merupakan icon daerah tersebut. Bangunan bisa berupa rumah adat, bangunan bersejarah hingga tempat ibadah. Dari sebuah bangunan bisa digali cerita menarik mengenai kehidupan penghuninya maupun sejarah bangunan tersebut.


MAKANAN KHAS
Kabupaten Rote Ndao adalah kabupaten hasil pemekaran dari kabupaen Kupang dengan jumlah kecamatannya sebanyak 8. Wilayah kabupaten ini terdiri dari pulau Rote serta dikitari pulau-pulau kecil sebanyak 103 buah pulau,6 buah pulau berpenghuni yakni: Rote,Ndao,Nuse,Landu,Nusa Manuk,dan Usu. Menurut legenda, pulau ini mendapat nama secara kebetulan dari seorang pelaut Portugis, yang ketika tiba dan menanyakan nama pulau itu,penduduk yang ngga ngerti hanya berucap “Rote”. Nah, pada masa kedudukan Belanda lebih sering disebut “Roti”
Jika anda pencinta pantai, aku bisa bilang bahwa Rote-lah surga pantai yang sesungguhnya bagi anda. Pulau ini dikelilingi oleh pantai berpasir putih bersih yang lebar-lebar. Pokoknya luar biasa. Bahkan saya yang sudah lama di Bali, belum menemukan pantai yang lebih bagus dari pantai di Rote. Bali hanya unggul di pengelolaan saja. Kalau dari alam,sebenarnya ngga seberapa. Tapi saya suka di Bali karena transport dan akomodasinya lebih lancar,lebih mudah, lebih murah.

Agama asli orang Rote disebut dengan Halaik. Dalam konsep kehidupan akan alam gaib, orang-orang Rote juga percaya akan adanya dewa. Misalnya dewa Dewa Nutu Bek (dewa untuk pertanian), dan dewa Nade Dio (dewa pemberi kemakmuran). Mengenai konsep wujud tertinggi tersebut dikenal dengan apa yang disebut dengan Mane Tua Lain atau Lama Tuak sebagai suatu wujud tertinggi.

BAHASA
Bahasa suku bangsa Rote pada hakekatnya satu (disebut bahasa Rote), namun bervariasi dialek menurut nusak masing-masing yang saling dapat dimengerti. Ciri yang menonjol dari bahasa Rote adalah bahasa sastra atau bahasa ritual. Bahasa sastra adalah satu bahasa khusus dan dapat segera dikenal sebagai bentuk bahasa yang digunakan dalam setiap kesempatan seperti : upacara adat, perundingan, salaman, nyanyian, tarian, dsb. Pada hakekatnya bahasa sastra merupakan pantun yang terdiri atas pasangan kata-kata berirama yang artinya bersamaan, misalnya: tolanok dudinok, dak esa fafan ma titiesa nonosinI (saudara sekerabat dan seturunan). Untuk memperoleh kata-kata seirama dengan makna dan tujuan yang sama, biasanya diambil kata-kata majemuk, sehingga bahasa sastra itu merupakan satu kesatuan pengertian yang mendalam.
Belanda memperkenalkan bahasa Melayu kepada orang Rote sebagai sarana bahasa pendidikan. Bahasa Melayu ini mudah diterima dan dipergunakan secara luar karena hampir sama dengan bahasa sastra orang Rote. Pada perkembangan lebih lanjut, bahasa Melayu berkembang menjadi bahasa Indonesia yang sampai sekarang menjadi bahasa lintas suku dan pemersatu bangsa, termasuk orang Rote.

SISTEM KEKERABATAN
Di Pulau Rote, Ume Ofa' atau "Perahu-Rumah" telah punah. Penyebabnya ialah politik Orde Baru di akhir 1960-an. Kala itu, masyarakat  diimbau menghilangkan tradisi membangun rumah tradisional dengan upacara-upacara adat dan pesta meriah, yang dinilai boros.  Tolok ukur siapa yang dipakai? Sebagai pelajaran bagi generasi mendatang, apakah masih ada ume yang bisa diselamatkan?
Tempat ternak di bawah panggung (vilenggat), juga dinilai ”tidak higeinis”. Faktor agama pun turut mempengaruhi perubahan, sebab pembangunan rumah tradisional selalu dimulai dan diakhiri dengan upacara (songgo) untuk meminta petunjuk dari ruh leluhur, yang dianggap bertentangan dengan ajaran Kristen. Ume Ofa’ Balu’ atau “Rumah-Perahu Besar”, perwujudan budaya Rote, kini terkubur sudah. Gantinya adalah ume leleo rae dan ume leleo’ .
Tempat ternak di bawah panggung (vilenggat), juga dinilai ”tidak higeinis”. Faktor agama pun turut mempengaruhi perubahan, sebab pembangunan rumah tradisional selalu dimulai dan diakhiri dengan upacara (songgo) untuk meminta petunjuk dari ruh leluhur, yang dianggap bertentangan dengan ajaran Kristen. Ume Ofa’ Balu’ atau “Rumah-Perahu Besar”, perwujudan budaya Rote, kini terkubur sudah. Gantinya adalah ume leleo rae dan ume leleo’ .
Pulau Rote, Pulau Ndao serta pulau-pulau disekitarnya terbagi dalam 19  nusa’ (suku).  Di dalam lingkungan nusa’ terdapat kelompok-kelompok kecil kumpulan beberapa keluarga yang memiliki  hubungan kekerabatan (leo). Dari kesembilan belas nusa’, terdapat delapan belas dialek. Di masa lalu terkadang terjadi benturan fisik; pemicunya adalah penguasaan atas sumber air. Untuk mempertahankannya, di Nusa’ Delha, dibangun benteng pertahanan dari batu gunung  setinggi antara tiga sampai empat meter dengan ketebalan dinding sekitar satu setengah meter. Benteng pertahanan ini disebut sebagai kota’.
Tidak diketahui secara pasti, kapan sejarah permukiman berawal di Nusa’ Delha. Menurut tradisi tutur setempat,  permukiman itu  bermula di daerah Inggu Ata, Nemberala. Penduduk pertamanya berasal dari hubungan kekerabatan atau Leo Ombak.  Bukti bahwa mereka adalah bagian dari migran melewati jalur laut, adalah konsep yang sama antara rumah (ume) tradisional dan perahu (ofa’). Bagi mereka ofa’ merupakan hunian di laut dan ume merupakan perahu di darat. Begitulah istilah Delha untuk rumah tradisional  yang besar, yakni; ume ofa’ balu’ (rumah besar seperti perahu besar). Sekarang rumah yang demikian boleh dikatakan sudah tinggal kenangan. Sebaliknya perubahan-perubahan semakin cepat tercatat.



Anoraga, P., 2004, Manajemen Bisnis, Jakarta: Rineka Cipta.
Gibson, J.L, Ivan Cevich and Donelly, 1995. Organisasi dan Manajemen: Perilaku, Struktur, dan Proses.  Terjemahan. Jakarta: Erlangga.
Gibson, J.L, Ivan Cevich and Donelly. 1997. Organization. Binapura Aksara : Jakarta.
Handoko, H., 2000, Manajemen Personalia dan Sumher Daya Manusia. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta.
Handoko, H., 2001,. Manajemen Sumher Daya Manusia Dan Personalia. Yogyakarta: BPFE UGM.
Mangkunegara,   A.P.,  2001,   Manajemen   Sumber   Daya   Manusia Perusahaan, Remaja Rosdakarya, Bandung.
Mangkunegara,  A.   P.,  2000.  Manajemen  Sumber Daya Manusia Perusahaan. Bandung: PT Remaja Rosadakarya.
Nawawi,  H., 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia Untuk Bisnis Yang Kompetitif. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.


Baptisan Selam dan Baptisan Percik

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang
Sebagai perwujudan kemurahan Allah bagi manusia, baptisan merupakan bagian dari ajaran Kristen yang sangat penting dalam memahami penerimaan keampunan dosa, kelahiran kedua kali dan memperoleh kebahagiaan kekal. Namun dalam prakteknya, masih banyak orang Kristen yang tidak mengerti apa yang sesungguhnya tujuan melaksanakan baptisan itu dengan membawa anak-anak mereka untuk menerima baptisan tersebut. Pertentangan yang sering terjadi antara sesama orang Kristen di Dunia pada umunya dan di Indonesia pada khusunya. Para pakar perjanjian baru dan para bapak gereja mendiskusikan kebenaran dari baptis percik dan baptis selam.
Bagi kalangan teologi sering didebatkan dan tidak ditemukan satu jawaban yang sangat pasti mengenai kebenaran akan kedua baptis ini. Hal yang paling ekstrim dan tidak sesuai dengan Firman Tuhan adalah para penganut baptis selam dan baptis percik mereka saling menghakimi dan menentukan kebenaran menurut pemikiran mereka sendiri.  Korban dari perdebatan ini adalah jemaat dan orang kristen yang tidak mengetahui dengan pasti kebenaran kedua baptis ini. Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa para pakar teologi telah membuat sebuah kebingungan dan pertanyaan bagi jemaat. Hal ini wajar karena poa pikir manusia yang satu dengan yang lain memiliki perbedaan.
B.     Tujuan Makalah
Dalam pengertian tentang baptis  yang memiliki perbedaan adalah titik tolak dimana manusia tidak akan pernah puas daan selalu mencari cara untuk memuaskan pikiran dan keinginan mereka. Demikian juga perdebatan yang tak henti-hentinya tentang baptis ini  Masyarakat Kristen pasti memiliki pandangan masing masing mengenai baptis ini. Saya akan menjelaskan  bahwa walaupun terdapat cara baptis yang berbeda pada dasarnya adalah kita telah lahir baru lewat kita yakin, mengimani dan percaya bahwa Yesus Kristus adalah Juruselamat dan Sang Mesias (Yohanes 14:6). Kita yakin bahwa Yesus mati di bukit golgota dan telah bangkit diantara orang mati dan nantinya Yesus juga kan datang kedua kalinya untuk menjemput orang yang percaya kepada Allah.
C.     Ruang Lingkup
Dalam penulisan makalah ini, saya hanya membahas tentang apa itu baptisan dan baptisan menurut salah satu tokoh gereja, yaitu Marthen Luther serta makna baptisan dan pandangan penganut baptis selam dan baptis percik, kontradiksi baptis selam.














BAB II
ISI

A.    Definisi Baptisan
          Istilah baptisan berasal dari bahasa Yunani yaitu “βαπτισμα” (kata benda bentuk nominatif tunggal neuter) yang dapat diartikan dengan kata “baptisan”. Secara etimologi kata ini berasal dari kata dasar “βαπτω” yang mempunyai arti dasarnya ialah saya mewarnai, dan kemudian artinya berkembang menjadi saya membasahi, saya membenamkan. Kata ini juga dapat diartikan dengan saya mencelupkan, membersihkan atau memurnikan melalui pembasuhan.
Pengertian “βαπτώ” yang sering dipakai dalam kekristenan sekarang ini ialah berarti membaptiskan. Sedangkan bentuk infinitip dari kata “βαπτω” ialah kata “βαπτιζειν” yang berarti kata yang menyuruh untuk membaptiskan. Kata “βαπτιζειν” ini menandakan tindakan luar yang kemudian menjadi syarat untuk usaha dari baptisan yang didasarkan pada Kristus. Sedangkan Yesus memakai kata “βαπτιζοντες”  untuk menyuruh murid-muridNya membaptis di dalam nama Bapa, Anak dan Roh Kudus[1].Kata “βαπτισμα” ini bukan hanya sekedar pencelupan ke dalam air belaka, namun melalui perantaraan air tersebut maka makna kata baptisan itu telah berubah, misalnya dalam Roma 6:4 kata dibaptiskan telah berubah makna menjadi dikuburkan dan dibangkitkanbersama Kristus. Sedangkan dari Efesus 4:5, kata “βαπτισμα” maknanya menjadi untuk membentuk arti kata yang menunjuk kepada satu kesatuan jemaat.
Arti kata “βαπτισμα” juga bukan hanya menunjuk kepada tindakan/reaksi dalam bentuk dari luar tetapi mencakup tindakan dalam bentuk dari dalam. Tindakan dalam bentuk dari luar ialah dengan adanya penyucian melalui pembaptisan dengan air, sedangkan tindakan dalam bentuk dari dalam ialah dengan adanya pertobatan dan penyucian hati.

B.     Pentingnya Baptisan
·                Kristus dibaptis (Mat 3:16). Walaupun arti baptisanNya berbeda sama sekali dari arti baptisan orang Kristen, namun hal itu mengandung arti bahwa kita mengikuti Tuhan apabila kita dibaptis. Harus disadari, kita tidak akan pernah mampu meniru pribadi yang tidak berdosa; namun kita harus mengikuti langkah-langkahNya, dan baptisan merupakan salah satu langkahNya (1 Petrus 2:21).
·                Tuhan menyetujui murid-muridNya untuk membaptiskan (Yoh 4:1-2).
·                Kristus memerintahkan supaya orang percaya dibaptiskan pada zaman ini (Mat 28:19). Perintah ini jelas bukan hanya untuk para rasul yang mendengarnya, namun untuk para pengikutnya di sepanjang zaman, karena Ia berjanji akan menyertai mereka senantiasa sampai pada kesudahan zaman.
·                Gereja mula-mula sangat mementingkan Baptisan (Kisah 2:38,41; 8:12,13,36,38; 9:18; 10:47,48; 16:15,33; 18:8; 19:5). Gereja mula-mula sama sekali tidak menerima orang percaya yang tetap tidak dibaptiskan.
·                Perjanjian Baru menggunakan ordonansi (upacara yang diperintahkan Tuhan untuk dilaksanakan Gereja) itu untuk menggambarkan atau melambangkan kebenaran teologis yang penting (Rm 6:1-10; Gal 3:27; 1 Ptr 3:21).
·                Penulis surat Ibrani mengatakan Baptisan merupakan suatu Kebenaran yang Mendasar (Ibr 6:1-2). Baptisan bukan lagi merupakan pilihan atau kurang penting bila dibandingkan dengan pengajaran tentang pertobatan, kebangkitan, dan penghakiman.

C.     Baptisan menurut Martin Luther
           Menurut Luther, baptisan bukanlah hasil pikiran manusia, melainkan wahyu dan pemberian Allah. Baptisan tidak bisa dianggap sepele, melainkan harus dipandang sebagai sesuatu yang terbaik dan luhur. Meskipun baptisan merupakan hal lahiriah, namun yang jelas firman dan perintah Allah menetapkannya dan meneguhkannya. Lebih-lebih baptisan itu dilakukan di dalam namaNya. Luther mendirikan pendapatnya di atas Mat. 28:19-20. Dibaptis dalam nama Allah bukanlah dibaptis oleh manusia, melainkan oleh Allah sendiri. Karena itu, walaupun manusia yang melakukannya, baptisan itu benar-benar perbuatan Allah sekaligus. Artinya, jika pun seorang imam atau pendeta melayani sakramen baptisan kudus, sebenarnya Allah sendirilah pelaku utama dalam sakramen tersebut bukan  pendeta.
Luther berpendapat bahwa baptisan bukanlah air biasa saja, melainkan air yang terkandung dalam firman dan perintah Allah serta dikuduskan oleh-Nya. Dengan demikian baptisan tidak lain daripada Allah sendiri; bukan karena air itu lebih istimewa dari segala jenis air yang lain, tetapi karena firman dan perintah Allah yang menyertainya. Jadi, baptisan berbeda dengan air yang lain, bukan karena apa adanya, melainkan karena sesuatu yang lebih mulia menyertainya. Allah sendiri menaruh kemuliaanNya atasNya dan mengalirkan kuasa kuasa dan kekuatan ke dalamnya. Baptisan adalah suatu firman surgawi yang kudus, pujian apapun tidak cukup untuk memuliakannya, karena seluruh kuasa dan kemampuan Allah ada di dalamnya.
         Menurut Luther, tidak ada mutiara yang lebih berharga daripada baptisan. Menurutnya, pemberian-pemberian dalam baptisan begitu banyak dan tak ternilai harganya, antara lain kemenangan atas maut dan iblis, pengampunan dosa, kemurahan Allah, Kristus seutuhnya dan Roh Kudus dengan pemberian-pemberian-Nya. Seseorang yang dibaptis menerima janji akan berbahagia selama-lamanya. Itulah dampak yang dihasilkan oleh perpaduan air dan Firman dalam baptisan, yakni bahwa tubuh dan jiwa memperoleh kesukaan: Firman yang menjadi pegangan jiwa sekaligus akan memberi kesukaan bagi tubuh. Luther kemudian menghubungkan asumsinya dengan Roma 6, yang berbicara seputar topik kematian dan kebangkitan Yesus Kristus. Menurut Luther, baptisan sebagai sakramen yang kudus telah mengikutsertakan kita di dalam kematian dan kebangkitan Yesus.
a.         Baptisan Anak-anak
Sah tidaknya baptisan tidak tergantung pada orang yang dibaptis, demikialah asumsi Luther menanggapi pertanyaan orang-orang tentang baptisan kepada anak. Menurutnya, baptisan bergantung pada Firman yang menyatu dengan air. Siapapun yang dibaptis, Allah berkenan atas baptisan tersebut, sebab memang Allah sendirilah yang menjadi aksiom baptisan. Seperti telah dibahas sebelumnya, Luther mengatakan bahwa baptisan adalah kehendak Allah, bukan kehendak manusia. Oleh sebab itu, baik anak-anak ataupun orang dewasa, jika baptisan itu atas nama Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus, maka baptisan itu adalah sah adanya.[2]
b.        Manusia Lama Sudah Mati, Manusia Baru Hidup Kembali
Bagi Luther, baptisan yang ideal adalah baptisan dengan cara dicelupak ke dalam air. Ketika dicelupkan ke dalam air, air itu melingkupi diri orang yang dibaptis dan kemudian ditarik lagi keluar; berarti mematikan Adam yang Lama dan membangkitkan manusia baru. Luther mengatakan bahwa hal ini harus terjadi terus-menerus sepanjang hidup. Dengan demikian, kehidupan orang Kristen tidak lain daripada baptisan setiap hari.
            Sekali baptisan itu dimulai, maka kita terus-menerus berada di dalamnya. Sebab kita tidak pernah berhenti membersihkan apa-apa yang berasal dari Adam lama; dan apa saja yang termasuk manusia baru harus terus menerus muncul. Yang dimaksud oleh Luther dengan manusia lama adalah apa yang dilahirkan dalam diri kita dari Adam, yakni: amarah, cemar, iri hati, mesum, tamak, malas dan tinggi hati. Oleh karena itu, manakalah kita masuk ke dalam kerajaan Kristus, semua ini mesti makin berkurang dari hari ke hari, sehingga makin hari kita makin lembut, sabar dan rendah hati, serta membuang ketamakan, kebencian, iri hati dan kesombongan. Di mana ada iman beserta buah-buahnya, di sana baptisan bukan merupakan lambang yang samar-samar saja, melainkan benar-benar nyata pengaruhnya. Sebaliknya, tanpa iman baptisan itu hanyalah tanda belaka, tanpa pengaruh apapun.

C.    Makna Baptisan
          Baptisan dan Perjamuan Kudus adalah sakramen yang ditentukan oleh Kristus untuk ditaati orang percaya. Kedua sakramen ini mempunyai makna rohani yang sangat dalam berkaitan dengan apa yang telah Allah kerjakan bagi keselamatan manusia berdosa melalui pribadi Yesus Kristus. Perjamuan Kudus bertalian dengan karya Kristus yang menjadikan diri-Nya sendiri sebagai korban penghapus dosa dunia ini.
Tindakan menebus manusia berdosa menuntut kematian Kristus. Kematian-Nya di atas salib adalah akibat dari menanggung hukuman atas dosa manusia. Sebab itu, setiap kali perjamuan kudus dirayakan, sakramen ini membawa umat beriman untuk mengingat kembali akan tubuh Kristus yang telah dipersembahkan menjadi korban pendamaian dan juga akan darah kudus-Nya yang telah dicurahkan bagi pengampunan manusia berdosa. Jika perjamuan kudus berbicara tentang karya Tuhan Yesus dalam menggenapi rancangan keselamatan yang direncanakan Allah, maka baptisan kudus berbicara mengenai pekerjaan Roh Kudus yang menerapkan atau mengaplikasikan hasil karya penebusan Kristus terhadap orang percaya.      Robert Rayburn mengatakan, “Seperti Perjamuan Kudus melambangkan pekerjaan Kristus, demikian juga baptisan melambangkan pekerjaan dari Roh kudus.” Dalam ordinasi yang pertama Allah berbicara kepada kita tentang darah pembasuh; dalam ordinasi kedua dibicarakan “penyucian kelahiran kembali dan pembaharuan oleh Roh Kudus.”  Jadi, dalam perjamuan kudus fokusnya adalah pada pengorbanan Kristus. Sedangkan dalam baptisan fokusnya adalah pada pelayanan Roh Kudus. Berbicara tentang baptisan, harus diketahui dengan jelas bahwa sakramen ini sama sekali tidak menyelamatkan orang berdosa. Imanlah satu-satunya sarana yang membawa efek keselamatan bagi kita. Rasul Paulus menegaskan bahwa “Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman…” (Ef. 2:8; Bdk Rom. 10:9-10). Bagaimana iman dapat timbul dalam hati manusia? Ini terjadi karena pekerjaan Roh Kudus. 

D.   Pandangan penganut Baptis Selam dan Percik
a.       Baptis Percik
         Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa baptisan air adalah suatu tanda kelihatan dari karya Roh Kudus yang tidak kelihatan, yakni pekerjaan-Nya melahir-barukan orang berdosa. Baptisan air melambangkan baptisan Roh Kudus. Dalam Alkitab, air adalah simbol untuk melukiskan Roh Kudus (Yoh. 7:38-39).
Dengan demikian, maka baptisan air adalah lambang untuk menyatakan baptisan Roh Kudus.
         Alkitab juga mencatat bahwa karya Roh Kudus dalam kehidupan manusia selalu digambarkan sebagai ‘turun dari atas’ atau ‘dicurahkan dari atas’. Ketika para rasul mengalami penggenapan nubuat ini, mereka semua dihinggapi oleh “lidah-lidah seperti nyala api” simbol dari Roh Kudus yang turun dari langit (Kis. 2:2-4).Pada saat Tuhan Yesus menerima baptisan air dari Yohanes maka segera setelah itu, Roh Kudus turun ke atas diri-Nya dalam bentuk burung merpati (Mat. 3:16, Mark. 1:10, Luk. 21-22).
b.             Baptisan Selam
          Mereka berkeyakinan bahwa kata Yunani untuk membaptis yaitu “baptizw” (baptizo) atau kata infinitive-nya “baptizein” (baptizein) selalu bermakna utama mencelupkan atau menenggelamkan ke dalam air. Berlandaskan arti hurufiah kata ini, mereka sangat menekankan bahwa makna literal ini dengan sendirinya sudah menunjukkan cara baptisan yang tidak lain adalah dengan diselamkan. Karena tidak bersifat “single-meaning” maka jika kelompok yang memegang baptisan selam telah memakai salah satu maknanya yaitu ‘mencelupkan’ untuk dijadikan penentu metode baptisan, maka golongan yang melaksanakan baptisan percik juga berhak mengambil makna lain dari kata  to wash atau to purify by washing untuk dipakai sebagai penentu cara baptisan.  Pada intinya, arti dari kata “baptizw“ dan “baptizein” tidak bisa menjadi argumentasi yang definitif untuk menentukan satu-satunya cara yang sah dalam pembaptisan. Fakta adanya aneka-arti untuk kata “baptizw“ dan “baptizein” menyatakan bahwa tidaklah memadai jika cara baptisan ditentukan hanya berdasarkan makna literal dari kata aslinya. Kedua, pada beberapa bagian Alkitab, kata “baptizw“ atau “baptizein” yang dipakai sangat jelas tidak mengandung arti menenggelamkan atau mencelupkan. Misalnya, Mark. 7:4, kata yang diterjemahkan oleh LAI sebagai “membersihkan dirinya” dalam bahasa Yunaninya adalah membaptis.
Teks Alkitab lainnya yang dipakai untuk mendukung metode baptisan selam adalah Yoh. 3:23. Dikatakan pada bagian ini bahwa Yohanes membaptis di dekat Salim ‘sebab disitu banyak air.’ Kata banyak air ini dianggap sebagai indikasi tentang baptisan selam. Robert Rayburn berpendapat bahwa sebenarnya itu tidak dimaksudkan demikian. Karena kata aslinya bukan mengatakan ‘banyak air’ tetapi lebih tepat ‘beberapa air’ atau ‘beberapa mata air’.

E.    Kontradiksi baptis selam
Pada hari Pentakosta, terjadi pertobatan massal sebagai respon terhadap khotbah yang diberitakan oleh rasul Petrus. Ada 3.000 orang bertobat dan pada hari itu juga mereka dibaptiskan (Kis. 2:41). Mungkinkah 12 rasul yang ada bisa membaptis orang percaya sebanyak ini dalam satu hari? “Tidak cukup fasilitas untuk membaptis selam 3.000 orang pada hari itu di Yerusalem. Di Yerusalem tidak cukup air untuk membaptis semua ukuran orang. Bahkan dengan hanya 12 rasul yang membaptis, tidak cukup waktu untuk melakukan baptisan selam.

     










BAB III
 PENUTUP

A.     Kesimpulan
          Allah sendirilah yang menjadi dasar dan pelaksana utama dalam Baptisan, bukan manusia. Oleh karena itu, tidak menjadi persoalan tentang siapa orang yang dibaptis, apakah orang dewasa atau anak-anak; sebab jika baptisan tersebut dilaksanakan di dalam nama Bapa, Anak dan Roh Kudus, maka sakramen tersebut adalah sah. Seorang yang menerima baptisan berarti telah ikut dalam kematian dan kebangkitan Yesus Kristus.
         Alkitab tidak pernah berbicara tentang cara pembaptisan. Sebab itu, tidak boleh ada satu cara yang dimutlakkan (baik selam atau percik atau pencurahan) dan tidak perlu ada klaim mengenai satu-satunya cara yang sah dalam menjalankan baptisan.
B.     Saran
         Kita harus mengakui bahwa makna baptisan jauh lebih penting dari pada caranya. Persetujuan terhadap statement ini akan menghadirkan sikap yang tolerir (bisa menerima) terhadap cara apa pun yang diterapkan, asal saja baptisan itu memakai unsur air dan dilakukan dalam nama Allah Tri Tunggal: Bapa, Anak dan Roh Kudus (Mat. 28:19).
Setiap orang yang memiliki pengalaman lahir baru, bertobat dan beriman adalah orang yang telah dibaptis oleh Roh Kudus. Selain menjadi tanda, baptisan air yang diterima dengan iman akan berfungsi sebagai meterai yang menyatakan kehadiran Roh Kudus yang memberikan jaminan keselamatan. 
.





DAFTAR PUSTAKA
Xavier Leon, Ensiklopedi Perjanjian Baru, Kanisius, Yogyakarta 1990: hlm. 156.
O. Cullmann, Baptism in The New Testament, SCM Press Ltd., London 1956: hlm. 14.
Oepke, “βαπτω, βαπτιζω, βαπτισμος, βαπτισμα, dalam TDNT Vol. I, WMB Eerdmands Publishing Company, Michigan t.t.: hlm. 531.
1964 Geoffrey, Chapmann Baptism in the New Testament: A Symposium, London . 1964 .Kerr Jr., Hugh Thomson (ed.).
Oepke, “βαπτω, βαπτιζω, βαπτισμος, βαπτισμα, dalam TDNT Vol. I, WMB Eerdmands Publishing Company, Michigan t.t.: hlm. 531.
1964 Baptism in the New Testament: A Symposium, London (Geoffrey Chapmann).Kerr Jr., Hugh Thomson (ed.).
1956 Baptism in The New Testament, London (SCM Press Ltd.).End, Van den.
Teologi Dasar 2, Charles Caldwell Ryrie, PBMR ANDI, hal 223-228






Adat Pernikahan NTT

BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Masyarakat NTT mempunyai beberapa suku dan suku-suku tersebut mempunyai bermacam-macam ritual dan tahapan dalam melaksanakan pernikahan namun yang cukup unik adalah semua suku mengenal “belis”. Belis ini adalah semacam mas kawin atau mas kawin yang diberikan oleh pihak keluarga pria yang nantinya akan dibalas oleh keluarga pihak wanita. Belis yang merupakan mahar atau mas kawin ini merupakan kesepakatan antara dua keluarga pengantin biasanya merupakan beberapa ternak kerbau atau kuda yang harganya cukup mahal atau perhiasan-perhiasan.

B.       Ruang Lingkup
Dalam penulisan makalah ini kami hanya membahas tentang Unsur-unsur mengenai pernikahan dalam Alkitab, Tata cara pernikahan di Nusa Tenggara Timur, Tahap-tahap pernikahan di NTT, Tata cara Pemberkatan Nikah.

C.    Tujuan Penulisan
1.    Supaya Mahasiswa/i mengeti budaya pernikahan dan tata cara budaya di Nusa Tenggara Timur
2.    Supaya Mahasiswa/i mengerti bahwa budaya pernikahan yang di praktekan oleh setiap suku juga tidak terlepas dari kebenaran Firman Tuhan dan juga budaya di ciptakan oleh Allah supaya manusia memakainya sebagai sarana di dalam hidupnya.
3.    Supaya Mahasiswa/i mampu untuk mempraktekan budaya pernikahan menurut kebenaran Firman Tuhan.


BAB II
ISI

A.    Unsur dasar mengenai pernikahan dalam  Alkitab.
·         Pernikahan adalah antara seorang pria dan seorang wanita.
Pernikahan alkitabiah adalah antara seorang pria biologis dan seorang wanita biologis. Hal ini jelas sejak semula. Tuhan menciptakan “laki-laki dan perempuan” (Kej 1:27-28) dan memerintahkan mereka untuk “beranak cucu dan bertambah banyak”. Reproduksi alamiah hanya mungkin terjadi melalui kesatuan pria dan wanita. Menurut Alkitab, Tuhan membentuk manusia dari debu tanah (Kej 2:7). Kemudian dari rusuk yang diambil Tuhan dari manusia itu, dijadikanlah seorang perempuan (ayat 22). Tuhan menambahkan, “Sebab seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging” (ayat 24).
·         Pernikahan melibatkan kesatuan seksual.
Pernikahan disebut kesatuan dari satu daging. Bahwa di dalam pernikahan terdapat seks adalah jelas (1 Kor 6:16, Kej 1:28). Hal ini mungkin hanya melalui kesatuan seksual antara laki-laki dan perempuan secara biologis. Alkitab sangat jelas berbicara mengenai hal ini dalam 1 Korintus 7:2-4.
·         Pernikahan adalah suatu persahabatan.
Meskipun pernikahan melibatkan hak-hak seksual, pernikahan tidak terbatas pada seks saja, tetapi suatu persahabatan atau suatu kesatuan yang jauh melebihi seks (Maleakhi 2:14). Pernikahan adalah suatu kesatuan sosial dan spiritual, juga kesatuan seksual. Pernikahan yang dibangun atas dasar hubungan persekutuan persahabatan, dimana suami-istri saling mengasihi dan mencintai akan jauh lebih kuat dibandingkan dengan pernikahan yang dibangun karena hubungan seksual.
·         Pernikahan melibatkan satu perjanjian dihadapan Tuhan.
Pernikahan juga merupakan kesatuan yang tercipta dari suatu komitmen dari janji-janji yang timbal balik. Komitmen ini tersirat dari sejak mulanya di dalam konsep meninggalkan orangtua dan bersatu dengan istrinya (Maleakhi 2:14; Ams 2:17). Dan Allah adalah saksi atas suatu pernikahan. Dialah yang mengadakan pernikahan dan menjadi saksi atas janji-janji tersebut (Mat 19 :6).
·         Pernikahan adalah Pemutusan atau Pelepasan dengan pihak orangtua.
Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya…. (Kej. 2:24). Kata Ibrani untuk meninggalkan sering diterjemahkan menjadi “melepaskan”. Kata ini mempunyai dua arti penting.Pertama berhubungan dengan kesetiaan yang utama. Sambil tetap menghormati dan mengasihi orangtua, seorang istri atau seorang suami menjadi yang pertama dan utama. Kedua, “melepaskan” memiliki arti ketergantungan. Pria dan wanita tidak lagi mengharapkan sokongan atau dipenuhinya kebutuhan mereka oleh orangtua mereka.
·         Pernikahan adalah Kelanggengan.
“… dan bersatu dengan istrinya” (Kejadian 2:24). Secara alamiah, kelanggengan mengikuti pemutusan. Seseorang harus meninggalkan keluarga asalnya sebelum ia dapat benar-benar bersatu dengan seorang pasangan. Kata ibrani untuk “bersatu” sama seperti lem khusus yang akan menyatukan dua potongan kayu dengan begitu kuat, sehingga, jika ditekan, kayu itu akan pecah dan patah sebelum melepaskan kelekatannya.
·         Pernikahan adalah Kesatuan
“… sehingga keduanya menjadi satu daging (Kejadian 2:24). Kesatuan di sini bukanlah keseragaman. Hawa tidak diciptakan untuk menjadi Adam perempuan. Kesatuan bukan melelehkan dua kepribadian untuk menjadi satu, namun dua indifidu hidup dan bekerja selaras dengan nilai-nilai yang sama dan tujuan bersama. Kesatuan adalah perbedaan yang membawa keselarasan.
·         Pernikahan adalah Keintiman
“Mereka keduanya telanjang, manusia dan istrinya itu, tetapi mereka tidak meresa malu “(Kejadian 2:25). Keintiman adalah hadiah utama untuk semua yang kita tanamkan dalam pernikahan.
·         Pernikahan adalah penyatuan dua anak Tuhan yang sepadan atau seimbang
Kejadian 2:18, ” Tidak baik manusia seorang diri saja dan Aku akan menjadikan seorang penolong yang sepadan baginya.” 2 Korintus 6:14, “Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tidak percaya.”

B.     Tata Cara Perkawinan Di Nusa Tenggara Timur (NTT)
Tata Cara Perkawinan Adat di Nusa Tenggara Timur. Acara peminangan calon pengantin wanita di Kupang, juga ditandai dengan surat-menyurat antar keluarga. Kupang merupakan ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Timur yang memiliki potensi sumber daya alam yang cukup melimpah. Mayoritas penduduknya memeluk agama Kristen Protestan. Bila dibandingkan kabupaten lainnya di Pulau Timor, masyarakat Kupang sebenarnya jauh lebih heterogen. Suku-suku yang ada di Kabupaten Kupang inilah yang kemudian mewarnai adat istiadat budaya masyarakatnya. Suku-suku tersebut yaitu:
*      Suku Dawan (dari daerah Dawan, Amarasi dan Amfoang).
*      Suku Helong (dari Pulau Semau).
*      Suku Rote (dari Pulau Rote).
*      Suku Sabu (dari Pulau Sabu)

a.      Busana Pengantin
Busana pengantin adat  ini selain digunakan pada upacara perkawinan, dapat juga dikenakan saat dilangsungkan upacara adat di istana raja. Pengantin wanita terlihat memakai kebaya bodo dengan sarung tenunan khas timor dan dilengkapi selendang serta berbagai perhiasan, mulai dari atas kepala sampai ujung kaki sang pengantin, di antaranya:
Kepala             : mahkota Bulamolik berbentuk bulan sabit.
Telinga            : anting atau giwang karabu.
Konde             : berbentuk bulat/cepok yang disebut falungku dengan tusuk konde koin sebanyak tiga buah yang ditaruh di samping kiri, kanan dan tengah.
Leher               : kalung muti salak, habas dan gong.
Tangan                        : sepasang gelang.
Jari                   : cincin koin.
Kaki                : selop hitam.
Pinggang         : sebuah pending emas.

Sementara itu, pengantin pria pun tampil tak kalah rupawan dengan baju dan jas, kain tenunan serta selendang pinggang atau selendang bahu. Pengantin pria dilengkapi destar di kepala, lehernya berhiaskan muti salak, habas dan gong, serta tangannya dihiasi gelang dan pinggangnya berikat perak dan dompet alkosu.

b.      Acara Peminangan
Rangkaian upacara perkawinan masyarakat Dawan-Kupang, Nusa Tenggara Timur, dimulai dengan acara perkenalan antar dua anggota keluarga yang akan berbesan. Sebelum kedua keluarga itu bertemu, biasanya keluarga calon pengantin pria (CPP) terlebih dahulu akan mengirimkan utusan untuk datang ke rumah calon pengantin wanita (CPW) guna bertemu dan berkenalan dengan anak gadis yang akan dipinang.
Pada kesempatan itu juga, utusan akan menyampaikan maksud hati keluarga CPP untuk segera meminang anak gadis tersebut. Setelah mendapatkan jawaban dari pihak keluarga CPW, sang utusan segera pulang dan menyampaikan hasil pertemuannya kepada keluarga CPP. Lalu mereka akan berunding untuk menetapkan waktu yang tepat untuk mengadakan pertemuan dua keluarga lagi guna membahas kelanjutan rencana acara pinangan.
Tetapi sebelum pertemuan itu terlaksana, keluarga CPP diharuskan membuat surat yang ditujukan kepada keluarga CPW. Isinya menyampaikan maksud kedatangan keluarga CPP yang ingin bertemu dengan keluarga CPW untuk meminang anak gadis mereka. Dan setelah keluarga CPW menerima surat tersebut maka mereka akan segera mengadakan pertemuan antara keluarga dekat yang melibatkan saudara laki-laki dari ibu kandung CPW yang disebut Na’i (oom dalam bahasa Timor) atau To’o (dalam bahasa Rote). Pertemuan keluarga CPW ini dilakukan untuk merancang penerimaan kedatangan keluarga CPP dalam acara pinangan nanti[1].
Sebelum hari pinangan terlaksana, keluarga CPW juga akan mengirimkan surat balasan kepada keluarga CPP berisi tanda kesediaan mereka menerima kedatangan keluarga CPP untuk meminang yang di dalamnya disertakan sejumlah syarat-syarat antaran yang mereka minta dan tetapkan.
Pada hari pelaksanaan pinangan, pihak keluarga CPW akan menyiapkan perwakilan keluarga yang ditunjuk sebagai juru bicara dan dia bertugas menerima kedatangan rombongan keluarga CPP. Pada saat hari pinangan ini, rombongan CPP harus datang tepat waktu sambil membawa barang antaran yang sebelumnya sudah ditetapkan, biasanya sebanyak 5-7 baki/dulang yang dibawa oleh remaja-remaja putri, hal ini sebagai salah satu syarat untuk kelengkapan mas kawin. Biasanya barang antaran yang diminta antara lain:
Antaran I         : berisi pinang sebanyak satu rangkai.
Antaran II       : tempat sirih berisi uang untuk tebusan air susu ibu, uang untuk donatur gereja dan pemerintah serta uang to’ok.
Antaran III      : seperangkat bahan busana untuk CPW dan orangtuanya.
Antaran IV      : berisi perhiasaan emas yang diperuntukkan bagi CPW.
Antaran V : berisi lampu yang sudah dinyalakan. Sementara antaran lainnya lazimnya berisi aneka bahan makanan, buah atau kue
Setelah masing-masing juru bicara keluarga bertemu, mereka akan langsung melakukan perbincangan dan setelah ada kesepakatan maka barang-barang antaran tersebut lalu diserah-terimakan. Selain untuk meminang, kedua keluarga juga membahas kelanjutan dari pesta perkawinan anak-anak mereka juga membahas pembayaran belis (mas kawin). Acara pinangan ini biasanya akan ditutup dengan acara jamuan makan bersama.
Setelah kesepakatan didapatkan, keluarga CPP akan mengumpulkan keluarga besarnya untuk memberitahukan apa-apa saja yang menjadi hasil kesepakatan dalam pertemuan keluarga di acara pinangan tersebut. Keluarga CPP berkumpul tidak hanya untuk mendengarkan hasil pertemuan tetapi juga untuk saling membantu dan meringankan beban keluarga CPP dengan memberikan bantuan dan sumbangan untuk membayar belis yang diminta keluarga CPW, termasuk segala sesuatu yang menjadi kebutuhan dalam pesta pernikahan nantinya.
Sehari sebelum hari perkawinan tiba, di rumah CPW akan diadakan acara picah bok yaitu pesta persiapan untuk mendirikan teng atau tenda pesta, setelah itu keluarga CPW akan pergi ke rumah CPP untuk mengantarkan barang-barang kebutuhan CPW yang antara lain untuk mengisi kamar pengantin serta kebutuhan dapur. Biasanya berupa pakaian, barang pecah belah, segala kebutuhan rumah tangga dan bahan-bahan dapur. Sementara itu, keluarga CPP juga mengantarkan balik semua kebutuhan pesta serta busana CPW yang akan dikenakan pada hari perkawinan.
Pada hari H, sebelum CPW menuju tempat berlangsungnya akad nikah atau pemberkatan nikah, CPW terlebih dahulu keluar dari rumah/kamarnya dengan melalui pintu depan rumah/tangga rumahnya. Di sana dia telah ditunggu oleh saudara-saudara perempuannya yang telah menyiapkan kendi berisi air yang akan dipakai untuk mencuci kaki sang pengantin. Setiap saudara yang sudah bersiap-siap tersebut lantas membasuh kaki calon pengantin dan mereka akan mendapatkan uang koin emas yang sudah disiapkan oleh CPP dalam sebuah tempayan. Setelah acara mencuci kaki ini selesai baru pasangan pengantin menuju tempat yang sudah disediakan untuk meresmikan pernikahan mereka.
Begitu pasangan ini resmi menjadi suami-istri maka acara akan dilanjutkan dengan mengadakan pesta di rumah pengantin wanita. Pada malam hari sesudah pesta usai, keluarga pengantin pria akan memohon kepada keluarga pengantin wanita untuk membawa pulang sang pengantin wanita yang pada saat itu sudah resmi menjadi istri anaknya sekaligus menantunya.

C.    TAHAP-TAHAP PERNIKAHAN DI NTT
Secara umum ada beberapa tahapan yang harus dilakukan masyarakat NTT sebelum pernikahan. Tahapan-tahapannya adalah sebagai berikut:

*      Tahap Palinga
Tahapan ini adalah tahapan dimana pria mencari pasangan hidupnya atau pada jaman sekarang disebut pacaran. Pada dahulu kala, masyarakat NTT biasanya dijodohkan dengan salah satu kerabat atau teman kecil dari sang pria. Tujuannya adalah untuk mempererat hubungan antar dua keluarga tersebut. Pada tahapan ini masyarakat NTT mengenal ada 3 cara untuk mendapatkan calon pengantin wanita. Cara yang pertama adalah si pria bekerja pada calon mertua dan sering datang bahkan atau tinggal di rumah tersebut untuk melakukan pendekatan kepada keluarga dan calon pengantin wanita. Cara yang kedua adalah tidak dengan bekerja dengan calon mertua atau tidak sering datang atau tinggal di rumah calon mertua namun sang pria atau utusannya membawa lari calon pengantin wanita ke rumah sang pria dengan kuda setelah itu barulah keluarga pria akan datang dengan pinangan resmi. Cara yang ketiga adalah cara yang digunakan yang hanya diketahui oleh kedua pasangan saja artinya selama proses perkenalannya tidak ada satupun keluarga yang mengetahuinya.

*      Tahapan Kedua: Pinangan
Pada tahapan ini keluarga dari pihak laki-laki akan datang bersama rombongannya ke rumah calon mempelai wanita untuk melamar secara resmi. Pada saat inilah “belis” atau mahar perkawinan yang telah disepakati bersama dibawa. Mengapa harus disepakati? Hal ini terjadi agar antara keluarga pria dengan keluarga wanita tidak ada hutang yang dapat mengakibatkan batalnya perkawinan dan membuat malu masing-masing keluarga.

*      Tahapan Ketiga: Upacara Malam Kapanca
Upacara ini biasanya dilakukan pada satu malam sebelum pernikahan dilangsungkan dan hanya dilakukan oleh pengantin wanita. Hal ini bisa dilakukan di rumah pengantin wanita atau tempat dimana tempat itu memungkinkan untuk dilakukannya upacara ini. Upacara ini adalah upacara pemakaian pacar atau inai kepada pengantin wanita. Hal ini perlu dilakukan karena dengan dikenakan pacar atau inai ini akan menambah menawanya pengantin wanita.

*      Tahapan Keempat: Akad Nikah atau Pemberkatan
Pada tahap ini adalah peresmian yang dilakukan menurut hukum agama oleh agama yang dianut oleh kedua pasangan. Biasanya dilakukan di gereja. Ada hal yang selalu dilakukan oleh masyarakat NTT sebelum masuk ke ruangan akad atau pemberkatan, yaitu pasangan calon pengantin tersebut akan dihadang oleh beberapa orang ibu-ibu dengan membawa galah dan dibawa masuk ke dalam ruangan akad atau pemberkatan.

*      Tahap Kelima: Acara Tokencai
Pada tahap ini pengantin wanita akan masuk kedalam kamar dan pengantin pria akan menjemputnya dengan mengetuk pintu dan berbalas pantun dengan pengantin wanita. Pengantin Pria juga harus bisa melaksanakan syarat-syarat yang diajukan oleh perias pengantin sebelum ia membawa pengantin wanita.

D.    Tata Cara Pemberkatan Nikah
Tata cara ibadah pemberkatan nikahlangsung dipimpin oleh Gembala Sidang Jemaat/Hamba Tuhan yang ditugaskan. 
1.      Kedua mempelai memasuki pintu Gereja. 
2.      Gembala Sidang Jemaat mengundang hadirin berdiri untuk menyambut
kedatangan mempelai. 
3.      Gembala Sidang Jemaat memaklumkan bahwa upacara peneguhan dan
pemberkatan nikah antara Sdr..... dengan Sdri... segera dimulaikan,
kemudian langsung berdoa. 
4.      Kedua mempelai dan hadirin di persilahkan duduk.
5.      Khotbah .
6.      Pertanyaan kepada mempelai .
7.      Janji mempelai ( dapat diikuti dengan pemasangan cincin )
8.      Peneguhan/pemberkatan nikah (dapat diakhiri dengan pembukaan
kerudung oleh mempelai pria).
9.      Ucapan selamat oleh Gembala Sidang Jemaat (dapat diikuti dengan
pemberian Alkitab).
10.  Doa penutup
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Manusia sering disebut sebagai makhluk sosial sehingga dia selalu ingin diterima di dalam lingkungan masyarakat sekitarnya, jadi jangan heran apabila masyarakat di Indonesia masih ingin menggunakan adat istiadatnya dalam menyelenggarakan perkawinannya. Biasanya di dalam adat istiadat, seseorang baru diakui di dalam masyarakat adat adalah orang yang sudah menikah dan tentu saja pernikahannya telah dilakukan secara adat karena apabila tidak dilakukan secara adat yang ada bukan diakui tapi dikucilkan dari pergaulan adat. Hal ini berlaku pula bagi masyarakat Nusa Tenggara Timur. Masyarakat NTT juga sadar bahwa salah satu tujuan dari pernikahan adalah untuk  mendapatkan keturunan sehingga di dalam masyarakat NTT pada saat  berlangsungnya pesta pernikahan sering menggunakan simbol-simbol kesuburan seperti daun sirih dan pohon pinang yang menandakan atau dipercayai sebagai simbol alat reproduksi manusia.












Daftar Pustaka

1.      Piet A.Tallo: OKOMAMA: Simbol Pendekatan Masyarakat Timor. Soe 1990.
2.      Anton Pain Ratu, "Perkawinan Adat Suku Dawan", dalam SAWI (Sara Karya Perutusan Gereja), no 5 Mei 1991, 5 94. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Bapak Drs. Antonius Bele.
3.       

Gambaran Yesus Kristus Adalah Seorang Ayah Yang Baik

     Sebagian orang menggambarkan Tuhan sebagai yang duduk dengan nyaman di takhta-Nya yang jauh, mengatur, cuek, dan sangat tidak tertarik ...